Latar Belakang Pustakawan di Palembang
Bayangkan seorang pustakawan bernama Intan yang sehari-harinya mengelola koleksi buku di Perpustakaan Komunitas Palembang. Setiap kali ia melihat anak-anak dan warga datang untuk membaca, ia terpikir: bagaimana caranya mengaitkan kecenderungan baca dengan motivasi sosial secara lebih mendalam? Menjelang Idul Adha, sekolah, masjid, dan komunitas di Palembang merencanakan penggalangan dana kurban. Maka, Intan melihat celah untuk melakukan riset perilaku pemain pada dua permainan digital populer, Sweet Bonanza dan Candy Burst, lalu menghubungkannya dengan upaya literasi komunitas dan kolaborasi sosial demi dana kurban.
Walaupun topik riset perilaku pemain terdengar jauh dari dunia perbukuan, Intan merasa ada benang merah antara cara orang berpikir saat bermain dan cara orang memutuskan untuk berdonasi. Ia mengambil analogi manajemen informasi: membaca buku sama seperti mengumpulkan “koin pengetahuan” yang kemudian dapat dibagikan kepada sesama. Ia pun bertekad mengembangkan metode riset yang menggabungkan elemen-elemen Sweet Bonanza dari Pragmatic Play dan Candy Burst dari PG Soft, agar risetnya relevan dengan budaya digital masa kini.
Ide ini sempat membuat rekan-rekannya curiga. “Pustakawan kok membahas game?” tanya beberapa petugas administrasi. Namun Intan menjelaskan bahwa tujuannya adalah memahami pola motivasi—apa yang membuat pemain tertarik meneruskan satu putaran demi putaran, dan bagaimana pola tersebut dapat diadaptasi untuk meningkatkan partisipasi warga dalam program kurban. Dengan semangat itulah ia memulai perjalanan risetnya, sambil tetap menjaga asas literasi dan pemberdayaan komunitas.
Mengulik Daya Tarik Sweet Bonanza ala Pragmatic Play
Pada titik ini, Intan mempelajari Sweet Bonanza, sebuah permainan yang menampilkan deretan permen dan buah-buahan berwarna cerah yang terlihat seperti koleksi buku bergambar penuh ilustrasi menarik. Ia mendapati bahwa Sweet Bonanza mendulang perhatian pemain lewat pola putaran “cluster pays”—setiap kombinasi yang muncul mengaktifkan serangkaian pengali, seolah-olah setiap buku yang dibaca memicu rekomendasi buku lain. Ayat analoginya: pemain merasa terpuaskan saat melihat “buah bacaan” yang berjatuhan satu per satu.
Dalam risetnya, Intan membuat kuisioner sederhana yang menanyakan: “Seberapa sering kamu merasa ingin terus bermain setelah melihat kombinasi kemenangan muncul?” atau “Apa perasaanmu jika tiba-tiba muncul banyak “permen coklat” di layar?” Kuisioner ini disesuaikan dengan ilustrasi agar ramah anak-anak dan warga lansia yang tergabung dalam komunitas baca. Melalui jawaban mereka, ia mencatat bahwa aspek visual dan efek audio Sweet Bonanza menjadi penggerak emosi—mirip dengan ilustrasi buku cerita yang mampu membuat pembaca terus membalik halaman.
Selain kuisioner, Intan menyelenggarakan sesi diskusi kelompok. Ia memutar cuplikan gameplay Sweet Bonanza di proyektor kecil di perpustakaan, lalu meminta peserta menuliskan satu kata yang menggambarkan perasaan mereka saat “bonus putaran” tampil. Kata-kata seperti “senang”, “penasaran”, “tegang” sering muncul, menandakan komponen emosional yang kuat. Data ini menjadi dasar analisisnya: bahwa memori pemain akan tertaut pada momen-momen visual dan audio yang memicu rasa ingin terus berpartisipasi, sama seperti pembaca terpikat pada ilustrasi epik dalam novel grafis.
Mendalami Strategi Candy Burst dari PG Soft
Selain Sweet Bonanza, Intan juga menyoroti Candy Burst, permainan puzzle yang menyajikan barisan permen yang harus disusun agar menghasilkan kombinasi tertentu. Ia melihat kemiripan dengan logika membaca komik seri: setiap episode harus diuraikan satu per satu sebelum cerita berlanjut. Melalui pendekatan ini, pemain ditantang memikirkan langkah ke depan—apakah menggeser permen biru atau merah terlebih dahulu agar tercipta “ledakan” bonus? Intan mengambil analogi bahwa ini seperti pembaca yang memutuskan untuk melanjutkan bab berikutnya demi melihat plot twist.
Untuk mengumpulkan data, Intan membuat lembar observasi di mana ia mencatat reaksi peserta saat mencoba demo Candy Burst di tablet yang disediakannya. Setiap kali peserta menyelesaikan satu level, mereka diminta menyebutkan tiga kata: satu untuk tantangan, satu untuk keseruan, dan satu untuk “motivator” yang membuat mereka ingin terus bermain. Intan pun menemukan bahwa aspek “cascading candies” membawa sensasi hidup—seperti satu rangkaian cerita membawa efek berantai, memicu keingintahuan untuk mencapai “level akhir”.
Dalam sesi tanya jawab, peserta juga diminta membandingkan sensasi Candy Burst dengan Sweet Bonanza. Banyak yang menyatakan bahwa Candy Burst membuat mereka merasa “lebih terlibat” karena strategi diperlukan, sedangkan Sweet Bonanza terasa lebih “berburu sensasi instan”. Informasi ini penting untuk riset Intan: ia ingin tahu, apakah tipe pemain yang mengutamakan sensasi cepat lebih mudah diajak berdonasi dibanding yang menyukai tantangan simulasi berkelanjutan? Data inilah yang kelak menjadi bahan analisis implementasi kurban di komunitas.
Membangun Simulasi Penggalangan Dana Kurban Berbasis Riset
Setelah mengumpulkan data perilaku pemain, Intan menyusun simulasi penggalangan dana kurban. Ia membagi komunitas menjadi dua kelompok: Kelompok Sari Manis, terinspirasi Sweet Bonanza, dan Kelompok Ledakan Permen, terinspirasi Candy Burst. Setiap kelompok diberikan “koin simulasi” dalam bentuk potongan kertas bergambar permen atau buah-buahan. Koin ini diperoleh dengan menyelesaikan tantangan literasi sederhana—membaca artikel singkat tentang makna kurban atau menuliskan ringkasan buku dengan tema empati.
Selama simulasi, kelompok Sari Manis akan melanjutkan “putaran” dengan menukarkan koin untuk memperoleh “bonus kurban”. Mereka harus memutuskan: apakah menghabiskan koin untuk sekali putaran besar yang bisa berpotensi menghasilkan banyak “donasi”, atau melakukan beberapa putaran kecil demi mendapatkan koin tambahan. Sementara itu, Kelompok Ledakan Permen memainkan “puzzle donasi”: mereka harus menata laporan belanja hewan kurban dalam urutan prioritas hingga mendapatkan “cascading donasi”—setiap kombinasi yang benar memberikan tambahan koin untuk donasi nyata.
Dari simulasi tersebut, Intan mencatat tiga aspek penting: pertama, respons emosional peserta—apakah mereka merasa senang saat memegang banyak koin? Kedua, keputusan strategis—apakah mereka lebih tertarik pada sensasi besar seperti Sweet Bonanza atau tantangan berkelanjutan seperti Candy Burst? Ketiga, tingkat partisipasi donasi nyata—berapa banyak koin simulasi yang akhirnya ditukarkan untuk donasi kurban? Hasil awal menunjukkan bahwa peserta yang menyukai sensasi Sweet Bonanza lebih cepat berkomitmen melakukan donasi kecil, sedangkan peserta Candy Burst lebih lambat tetapi bertahan lebih lama pada simulasi dan menghasilkan donasi total yang lebih besar.
Implikasi Ekonomi Literasi Komunitas
Data riset Intan mengungkap pola menarik: kombinasi “sensasi instan” dan “tantangan berkelanjutan” dapat memicu tingkatan keterlibatan yang berbeda. Dalam konteks literasi komunitas, ini berarti unsur visual dan audio (analog dengan cetak penuh warna dan audiobook) serta unsur keterlibatan aktif (analog dengan diskusi buku atau klub baca) perlu dipadukan agar program literasi dan sosial berjalan optimal. Dari sini, Intan mengajukan konsep “Gramedia Gotong Royong”—kolaborasi antara perpustakaan, sekolah, dan masjid untuk membuat rangkaian kegiatan baca dan donasi kurban yang saling menguatkan.
Secara ekonomi, simulasi tersebut menunjukkan bahwa upaya literasi yang memadukan elemen digital dan fisik dapat meningkatkan partisipasi donasi hingga 20% dibanding metode konvensional. Selain itu, analisis biaya menunjukkan bahwa pengeluaran untuk kegiatan simposium buku, brosur digital, dan proyeksi cuplikan gameplay relatif rendah dibanding potensi nilai donasi yang diperoleh. Dengan kata lain, pendekatan riset perilaku pemain bukan hanya membantu memahami motivasi donasi, tetapi juga memunculkan strategi literasi yang hemat biaya dan berdampak luas.
Lebih jauh lagi, kami melihat efek spillover pada ekonomi lokal Palembang. Sebanyak 50% peserta simulasi yang menjadi pembaca setia, kemudian membeli buku-buku terkait ekonomi syariah dan sosial di toko buku lokal. Permintaan buku-buku keagamaan dan filantropi melonjak menjelang Idul Adha, meningkatkan pendapatan toko buku dan penerbit lokal. Ini memperlihatkan bahwa literasi komunitas dan penggalangan dana sosial dapat berjalan beriringan, menciptakan ekosistem ekonomi berbasis pengetahuan yang berkelanjutan.
Kebiasaan Unik dan Langkah Praktis Pustakawan
Salah satu kebiasaan unik Intan adalah mengadakan “Bincang Buku & Bersedekah” setiap Rabu sore. Ia mengundang pembicara dari komunitas pesantren dan kelompok pemuda, kemudian menautkan diskusi buku dengan sesi lelang donasi kurban. Buku yang dilelang bisa berupa buku edukasi ekonomi atau buku cerita anak bergambar, dan hasilnya langsung disumbangkan. Dengan cara ini, peserta merasakan manfaat ganda: mendapatkan wawasan literasi dan merasa berkontribusi pada program kurban.
Selain itu, di pintu masuk perpustakaan terdapat papan pengumuman digital yang menampilkan cuplikan Sweet Bonanza dan Candy Burst, lengkap dengan ilustrasi yang mirip cover buku. Setiap kali terjadi “cascading combo” di Candy Burst, papan digital akan menampilkan frase inspiratif seperti “Berbagi amal serupa membaca ilmu: satu langkah membawa berkah berantai.” Ini menciptakan suasana interaktif yang membuat orang tertarik datang ke perpustakaan, sekaligus mendorong mereka berpikir tentang nilai donasi dan literasi.
Praktik lain yang dijalankan Intan adalah memberikan “voucher baca” kepada peserta simulasi sukses. Katakanlah jika seorang peserta berhasil mengumpulkan 50 koin simulasi, mereka mendapatkan voucher potongan harga beli buku di toko lokal. Ini mendorong peserta untuk terus membaca dan mengikuti program literasi. Intan menyebut pendekatan ini sebagai “literasi berkelanjutan”—simulasi game digital, diskusi buku, dan insentif sederhana dijalin bersama dalam bingkai penggalangan dana kurban.
Refleksi dan Pesan Universal
Ketika Idul Adha tiba, Intan mengumumkan hasil akhir program: lebih dari 100 warga komunitas ikut berpartisipasi, dengan total donasi setara 25 kambing kurban. Lebih dari sekadar angka, ia melihat perubahan sikap: warga tidak lagi memandang perpustakaan sebagai tempat sunyi melulu, melainkan sebagai pusat kegiatan sosial dan literasi. Program ini membuktikan bahwa riset perilaku pemain di era digital dapat diadaptasi untuk tujuan mulia, yakni menumbuhkan semangat berbagi dan literasi secara bersamaan.
Pesan universal dari kisah ini adalah: ketika kita berani berpikir di luar kotak, meski terkesan nyeleneh, kita dapat menciptakan perubahan signifikan. Seorang pustakawan di Palembang berhasil memadukan riset perilaku pemain Sweet Bonanza dan Candy Burst dalam program literasi komunitas, sehingga program penggalangan dana kurban bukan hanya soal uang, tetapi juga soal peningkatan pengetahuan, empati, dan semangat kebersamaan. Intan menegaskan bahwa pendekatan risetnya ini relevan bagi komunitas mana pun yang ingin mengintegrasikan literasi dan filantropi.
Akhirnya, mari kita ingat bahwa dalam dunia yang serba cepat dan digital, nilai-nilai literasi dan sosial tidak boleh tertinggal. Baik itu melalui cuplikan permainan manis ala Sweet Bonanza, atau ledakan permen strategis ala Candy Burst, setiap pendekatan memiliki potensi untuk menggerakkan hati. Semoga kisah Intan menginspirasi pustakawan, pendidik, dan pemimpin komunitas lainnya untuk terus inovatif—karena di balik data dan angka terdapat semangat kemanusiaan yang paling berharga.